Senin, 24 Maret 2014

FREAK!!!

 Freakk!!!
Ketika Dua Manusia Usang Ini Bertemu
Aku masih duduk di sebuah bangku mall yang ada dibawah pohon hias mini. Dihadapanku berdiri sebuah toko baju, sedangkan di sebelah kiriku berdiri beberapa toko sepatu kemudian toko makanan, dan tiga deret toko dari arah kanan ku ada sebuah toko buku. Hari sudah menunjukan pukul setengah lima sore.
Orang itu masih berdiri di depan toko makanan, memesan dua buah es krim seperti apa yang dijanjikannya kemarin. Setelah di kedua tangannya membawa masing-masing sebuah eskrim untukku dan untuknya, dia menyodorkan sebelah tangan kanannya untuk memberiku salah satu eskrim yang di bawanya. Wajahnya datar, sangat datar, lumayan cantik meski dia seorang lelaki, putih mulus, hanya ada satu jerawat yang terletak di pipi kanannya. Aku masih tidak dapat percaya dengan apa yang hari ini aku alami. Bahkan hari-hari yang aku lewati dengannya pun aku masih tidak dapat percaya, bagaikan mimpi. Ya, seperti inilah mimpi yang aku selalu imaginasikan di masa kecilku.

Dia adalah orang yang baik, sangat baik. Dia mau menjadi bagian dari seseorang sepertiku. Aku yang anak dari orang miskin, introvert—super tertutup—anak yang tidak mempunyai teman dekat semenjak ada di kelas dua SMP. Anak yang mempunyai sedikit cacat pada muka, ya, ada sebuah bekas luka sayatan lumayan panjang yang melintang dari pelipisku hingga pangkal pipi. Aku sama sekali tidak cantik, dan jika ditambah dengan bekas luka pada wajahku yang terlihat jelas itu pasti saja anak kecil akan takut denganku. Bahkan teman-teman sebayaku entah di SMP, SMA bahkan beberapa guru masih saja ada yang meledek pahit dengan perkataan-perkataan yang menyakitkan. Aku tahu sebagian dari mereka hanya bermaksud untuk bercanda, tapi satu hal yang aku tidak tahu kenapa adalah tidakkah mereka mencoba berempati, memposisikan diri jika mereka ada di pihakku bagaimana perasaannya? Ahh entahlah…
Sebuah tangan yang merebut es krim dari tanganku menyadarkan penghayatanku. Ternyata itu tangan Dio yang merebut kembali es krim yang telah diberikannya padaku, kemudian dijilatnya. Aku masih shock, lengkap dengan mulut menganga. Kemudian aku tersadar dan segera mengutukinya. “Ihh kok es krim nya diambil lagi sih? Dijilat lagi! Ahh trus aku dimana dong? Ah Diooo…” kataku sambil memukulnya dengan kantong belanja yang didalamnya berisi buku-buku hasil buruan kami tadi. “Lagian, katanya suruh nraktir es krim. Kok malah dipelototin gitu?” katanya dengan wajah tanpa ekspresi. “Yaudah nih, buat kamu aja.” Katanya lagi. Kali ini dengan sedikit ekspresi namun tetap terlihat polos dan dengan tingkah laku mirip seperti anak kecil yang berebut es krim lalu salah satu anak terpaksa merelakannya lengkap dengan ekspresi lucu. Aku segera mengambil es krim itu. Andai saja es krim itu tidak bisa mencair ataupun basi, pasti akan ku simpan sebagai prasasti kebahagiaanku karena sudah berhasil mewujudkan keinginanku.
“Dio, makasih ya kamu udah mau jalan sama aku. Aku seneeeenggg banget deh. Aku ga percaya akan hari ini. Ini adalah hari yang aku tunggu-tunggu selama bertahun-tahun. Akhirnya aku ga jalan sendirian lagi. Akhirnya aku bisa nonton bioskop bareng-bareng, makan es krim bareng-bareng, ke mall bareng-bareng, makan Mc.E bareng-bareng, berburu buku dan kaset bareng-bareng…bla..bla..bla…”
“Iya sama-sama.” katanya singkat sambil melukiskan guratan indah di bibirnya.
Wajah polosnya saat berterima kasih padaku mengingatkanku pada hari saat kita pertama kali bertemu. Aku bertemu dengannya di Klub Japan di sekolah kami. Kami sama-sama kelas 2 dan baru bergabung pertama kalinya di klub itu. Asing memang bagiku. Masuk ke sebuah lingkungan baru dengan junior yang berperan sebagai seniorku. Hal ini terjadi karena di kelas satu aku belum mempunyai niat untuk bergabung dengan klub Japan. Jadi, terpaksa mau tidak mau harus aku belajar di lingkungan seperti itu. Apa salahnya? Belajar itu tidak memandang tempat, waktu dan lingkungan kan?
Di klub itu aku termasuk anak yang sangat pendiam dan anti sosial. Begitu juga dengan Dio. Namun entah setan apa yang merasuki kami sehingga membuat kami saling nyambung saat aku menyetel anime Swort Art Online di laptopku yang kemudian menarik perhatiannya. Sejak saat itu aku dan dia menjadi dekat. Meskipun itu sama-sekali tidak mengubah keadaan kami terhadap lingkungan klub japan. Ya, meskipun aku semakin akrab dengan Dio begitu juga dengan Dio kepadaku, namun kami tidaklah berubah menjadi orang yang ramah dan kemudian bergabung atau membaur dengan anggota klub japan yang lainnya. Kami masih seperti kami yang dulu, yang anti sosial.
Waktu berjalan, dan kami semakin akrab. Ternyata kami mempunyai banyak kesukaan yang sama, hobi yang sama, minat terhadap genre anime yang sama, kepribadian yang hampir sama, kekritisan yang nyaris sama, keinginan masing-masing kami juga banyak yang sama.
Banyak orang-orang di lingkungan sekolah—tentunya yang mengenal kami, mengatai kami itu mirip, dan juga cocok buat jadi partner solid. Eittss… perlu di garis bawahi dengan font yang unik dan font size yang lebih besar bahwa teman-teman mencap kami sebagai partner yang solid karena kami sama-sama aneh. Ya, ya, ya… memang aku tidak menampik bahwa banyak orang yang mengataiku aneh dan sebagainya. Dio pernah bercerita kepadaku bahwa dia pun sangat sering sekali dikatai seperti itu. Namun aku mencoba mengabaikannya. Apa pentingnya kalau aku aneh? Apa pengaruhnya kalau aku aneh? Apa peduliku kalau aku aneh? Toh kalau aku aneh aku tetap bisa hidup. Namun begitu nampaknya hal yang membuat aku seringkali dikatai aneh karena kebiasaanku berpikir kritis terhadap masalah maupun anime atau film yang aku tonton di kelas. Aku pernah bahkan diusir dari kelas lantaran aku berisik bertanya-tanya pada teman-teman yang sedang asyik menonton film bersama. Bukannya menjawab, eh mereka malah mengusirku dan mengunciku dari dalam kelas. Aku sempat nelangsa, tapi hanya beberapa detik karena saat itu juga aku melihat Dio yang melintas sambil asyik mentertawaiku, menurutnya perilaku ku seperti anak kecil yang diusir oleh orang tuanya kemudian meminta kembali lagi sambil menggedor-gedor pintu dan tak lupa dengan bibir mewek. Serius, aku sama sekali tidak sadar akan perilaku ku tersebut. Dan akhirnya aku juga larut terbahak-bahak saat melihat Dio tertawa sangat lepas. Kemudian kami sama-sama pergi ke kantin.

Aku merasakan ada sesuatu yang sangat dingin yang sedang mengalir deras— sebenarnya sih biasa aja ngalirnya—dari ibu jariku menuju sikut. Aku kemudian tersadar bahwa es krimku kini telah meleleh di tanganku. Dio melihatku, kali ini tidak dengan ekspresi datar melainkan agak garang. “Kamu kenapa sih? Kemaren aja minta ditraktir es krim. Tapi giliran udah dibeliin malah cuman dipelototin.”
“Di, makasih ya kamu udah mau mengajakku jalan-jalan ke mall. Tau ga? Aku tuh seumur hidupku ngga pernah ke bioskop. Ngga pernah jalan-jalan ke mall bareng-bareng setelah bertahun-tahun yang lalu. Aku ngga pernah beli buku bareng sama teman-teman. Ini berarti banget buat aku. Dan aku harap kamu masih inget sama janji kamu kalau kamu akan jadi teman kepercayaanku seperti apa yang kamu bilang dulu.” Ucapku mengingatkannya.
“Tenang aja, seperti janjiku, aku akan menjadi teman kepercayaanmu. Emang siapa sih yang mau menjadi teman kepercayaan kamu selain aku? Ha?” katanya sambil tertawa. Aku hanya bisa membalasnya dengan memukulkan kantong belanja yang berisi buku-buku yang ada di tangan kiriku. “Aku juga janji ngga akan ingkar janji. Aku inget sama semua janji aku ke kamu. Gue juga seneng kali bisa pergi bareng-bareng kayak gini. Semua persepsi aku tentang seorang teman yang serius alias teman beneran itu salah selama ini, Dan sekarang aku tahu dan yakin kalau kamu itu adalah orang yang berbeda dengan mereka—teman dalam tanda kutip yang sering mengataiku idiot, autis, ga normal ataupun aneh. Dan aku ngga akan peduli dengan kata-kata mereka yang mengatai kita aneh, yaa meskipun aku tahu kamu memang bener-bener aneh, tapi aku ngga akan seperti mereka kok. Kamu tenang aja yah.” Katanya. Kali ini perkataanya benar-benar membuatku sangat damai dan tenang. Aku punya seorang teman yang mempunyai pemikiran yang sama denganku. Dan sangat dekat denganku. Itulah yang membuatku sangat bahagia. Tapi tunggu, tadi dia mengataiku aneh. Apa dia tidak sadar bahwa sendirinya pun sangat aneh. Huh… -_-
“Oya, mau kemana lagi nih? Mumpung kita lagi disini.” Tanya nya. “Hmmmm, kemana ya? I have no idea.” Kataku sambil menggeleng. “Wah elah, jangan pake bahasa inggris dong. Kan gue ga ngerti.” Katanya sambil cemberut yang bukannya membuatku takut tapi malah membuatku semakin menahan tawa. “Aku tidak punya ide Di…” Kataku. “Ohh, yasudah. Ayo antar aku ke mall seberang. Ada sesuatu berbau anime yang mau aku cari. Jam segini masih nggapapa kan kalau kamu belum sampai rumah? Nanti dimarahin orang-tua kamu lagi.” Tanyanya memastikan. ”Tenang aja, aku udah ijin ini. Kalau kamu gimana?”
“Aku juga udah ijin kok. Ayo kesana! Aku udah ga tahan.”  Katanya sambil mengerang ganas. Aku tahu maksud perkataanya. Aku pun juga sudah tidak tahan. Aku langsung berdiri membereskan belanjaan dan kemudian berlari ke sebuah escalator menuju pintu keluar mall yang letaknya satu lantai dibawah kami berdiri ini. Dia mengekor dibelakangku meskipun aku tidak menengok namun aku langsung tahu karena langkah kakinya yang begitu kuat terdengar.
            Setelah terbebas dari escalator dia segera mendahuluiku menuju pintu keluar. Kini posisiku beralih yang mengekor langkahnya. Kami tepat bersampingan saat berada di ambang pintu keluar mall. Satpam yang berjaga melihati kami dengan tatapan penuh tanya. Aku menoleh ke arah Dio dan begitu juga Dio menoleh ke arahku dalam waktu yang bersamaan. Kami saling senyum mengisyaratkan bahwa kami siap untuk keluar.
            Aku melangkahkan kakiku sebanyak tiga langkah. Tak kusangka Dio juga melakukan hal tersebut, tepat bersamaan dengan ku. “Yeahhh!!!” teriak Dio yang posisinya masih berada di tengah area pintu keluar tersebut . Sontak orang-orang disekitar pintu mall pun menoleh ke arah kami. Aku segera minggir ke tepi dan langsung aku menyeret serta Dio.
“Seneng sih seneng. Tapi liat! Ngga di tengah pintu juga kalii…” kataku sambil menjitak kepala Dio. Dio hanya terkekeh meresponku. “Tapi, emang susah ya seharian berbahasa Indonesia yang baku demi memperingati Hari Bahasa Indonesia versi kita.” Kataku yang memang sudah tidak tahan dengan permainan yang jujur saja cukup menyiksa ini. “Dari tadi lo tau ga gue nahan tawa gara-gara percakapan kita tadi.” Katanya sambil tawa terbahak-bahak. “Udah ayo, sambil jalan. Nanti kelamaan lagi. Oya, muka lo tuh tadi kocak abis waktu lo belaggak jadi orang kalem bin melankolis.”
“Tapi iya sih, gue susah buat jadi orang melankolis ternyata kecuali waktu gue bener-bener galau. Kebalikannya, hari ini berhasil banget acting lo. Seriusan, lo keliatan melankolis banget.” Katanya bersemangat.
“Gatau nih hari ini atmosfirnya mendukung banget. Tiba-tiba aja dari pagi gua jadi melankolis. Itu bukan cuma sekedar acting, semua yang gue bilang tadi serius tau.”
“Gue juga serius. Gue seneng banget hari ini gue bener-bener ngga sendiri. Ayo berburu lagi.” Katanya. Saat dia mengatakan kalimat itu aku baru tersadar bahwa kami ternyata sudah berdiri di depan pintu masuk mall yang letaknya berseberangan dengan mall yang kami jelajahi tadi.
“Yoshhh… Akhirnya gue dapetin juga yang volume ini. Ahhhh, kawaaaaiii!!!!” katanya dengan sangat penuh semangat begitu kami sampai disebuah toko. Aku tidak begitu tahu toko apa ini. Tapi dari dekorasi dan barang-barang yang dijual, ini adalah sebuah toko yang berbau Japan dan tentunya Anime. Banyak buku, majalah, komik, asesoris anime, patung atau figure anime dan masih banyak lagi. Memang dia adalah maniac anime. Tidak bisa hidup tanpa anime. “Inget diri lu Di! Nyebut-nyebut!” kataku sambil tertawa lepas. Dia senyum kemudian disusul dengan mengelus komik yang dipegangnya dengan gaya mirip seperti seorang ibu yang mengusap sayang bayinya yang masih sangat kecil. Setelah dia mengambil beberapa barang yang sangatlah tidak asing bagiku. Ya, barang-barang itu terdiri dari figure, dan beberapa asesoris khas dari sebuah anime yang sedang sama-sama kami gilai. Aku membantunya membawakan beberapa belanjaannya. “Yosh… Ayo pulang. Eitss, kita kan ada perjanjian. Tadi gue pikir gue kalah, karena gue begitu banyak memakai kata slang Bahasa Indonesia dari pada lo. Dan berhubung gue adil bin bijaksana, ayo, gue traktir lo sesuai perjanjian kita kemaren. “ Katanya sambil menuju keluar mall.
Begitu sampai di tempat es, dia segera membelikanku sebuah jus Jeruk Spesial kesukaanku. Dia hanya memesan satu. Setahuku dia juga suka dengan minuman ini tapi kenapa dia hanya memesan satu? Ahh tapi yasudah lah, mungkin dia kenyang. Yang penting dia adalah orang yang tepat janji, meskipun ini bukan sesuatu yang besar, tapi cukup baguslah untuk dia belajar tepat janji. Dia menyodorkan minuman itu kepadaku. Aku pun duduk di bangku yang telah disediakan, kemudian disusul Dio duduk menghadap kepadaku. Aku meminum minuman salah satu kesukaanku itu. Dio hanya melihatiku. “Di, lo mau?” kataku menawarinya. “Ngga usah buat lo aja.” Katanya sambil tersenyum. “Ihhh, sebagai teman seharusnya ngga begitu Di.”
“Yaaah, maaf deh. Yaudah sini gue minta.”
“Eh tapi Di. Gue suka banget sama ini. Lo mintanya kapan-kapan aja ya?”
“Lha, payah lu. Katanya gue ga boleh nolak.”
“Bener banget, lo ngga boleh nolak. Oh yaudah deh, karena gue baik hati nih gue kasih baunya aja. Lo hirup ya..” kataku sambil meniupkan jus jeruk ke arahnya. Dia langsung berubah.
“Ahhh enaak baunya. Lagi, lagi…” katanya begitu riang.
“Udah ah, ntar bau jeruknya habis.”
“Yaelah, pelit banget sih lo.”
“Yosh, pulang yuk. Udah habis es jeruknya. Sisanya buat lo aja.”
“Yee, jahat banget sih lo. Udah abis baru dikasih ke gue. Mana cepet banget lagi abisnya, tau-tau udah abis aja.”

Akhirnya beginilah nasibku, mempunyai teman yang benar-benar teman. Teman yang tidak hanya datang saat tidak tahu pelajaran atau belum mengerjakan PR. Terima kasih atas es krimnya, terima kasih atas jalan-jalannya, terima kasih atas nonton bioskopnya, terima kasih atas Es Jus Spesialnya. Es Jus Spesial dari Dio.

Senin, 03 Maret 2014

The Dark Night Capuccinoooo

                Aku masih duduk termangu di ambang batas kesabaranku. Sudah empat gelas kopi capucino tersesap di rahangku. Ku intip jam di pergelangan tanganku. Pukul 22.15. Agaknya aku tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi. Tubuhku melemas, kepalaku pusing menahan kantuk yang tak terkira kan. Betapa tidak? Aku belum tidur sejak aku menginjakkan kaki di kota tempat ku dibesarkan ini. Perjalanan Solo-Tangerang dengan menggunakan kereta cukup menguras tenaga ku. Ditambah lagi sejak pagi tadi ada saja tetangga yang bersilaturahmi ke rumah orang tuaku untuk sekedar bercengkrama dan mendengarkan ceritaku mengenai daerah seberang—Solo.


                Meskipun semakin malam café semakin ramai, tapi tetap saja sendirian diantara keramaian selama 3 jam lebih itu rasanya somethingsekali.
Ditambah lagi menunggu seseorang yang sama sekali tidak nampak batang hidungnya. Handphonenya pun mati, bagaimana bisa aku tahu bahwa dia akan datang? Keyakinan. Ya, keyakinan lah yang membuat tubuhku tetap disini meski otakku sudah memberontak tak terkira untuk segera enyah dari café ini. Keyakinanlah yang sedikit banyak bisa membuatku menekan amarah-amarah dan egoku selama ini. Keyakinan ini pula lah yang mampu membuat hubunganku dengannya bisa sejauh ini. Tiga tahun, ya tiga tahun sudah. Tiga tahun sudah sejak hari itu, aku sudah mulai terbiasa dengan keadaan seperti ini. Keadaan yang acap kali memaksaku untuk memiliki kesabaran diluar batas sisi kemanusiaanku. Terkadang aku merasa muak dengan semua tingkah konyolnya yang sangat menyebalkan ini. Terkadang aku sangat kesal dengan tingkahnya yang ‘semaunya sendiri’. Terkadang aku begitu yakin bahwa aku benar-benar tidak akan bisa lebih lama lagi bersamanya. Tapi pada akhirnya pun aku masih tetap bersamanya hingga malam ini.
                Deru motor di parkiran café yang sering terdengar dari luar jendela menyita perhatianku. Berkali-kali aku berharap orang yang ada dibalik kemudi motor itu adalah dia. Tapi berkali-kali pula aku mendapati hasil yang hampa. Tiga jam? Apa saja ya yang bisa aku lakukan dengan waktu sebanyak itu? Istirahat mungkin? Tidur mungkin? Ataukah memadu rindu dengan kedua orangtua dan adik semata wayangku yang sudah cukup lama aku tidak melihat wajah-wajahnya?

                Kata-kata yang sedari tadi terencana dikepalaku hampir buyar. Semua kalimat yang sudah kusiapkan untuk mengobrol dengannya agar suasana tidak kaku pun pudar. Dan semua hal manis yang aku bayangkan dalam pertemuan ini pun padam. Ingin rasanya aku menangis. Kenapa? Kenapa harus aku yang dipilihnya untuk ini? Kenapa aku yang dimauinya? Kenapa? Kenapa? Kenapa? Jika saja bulan bisa merasa, pastilah sudah tercerai-berai kawah-kawahnya karena rasa yang aku derita ini. tenggorokkanku kering, juga perih. Sepertinya aku sudah tidak sabar lagi. Kali ini aku harus menjadi manusia biasa yang bisa habis rasa sabarnya, manusia yang bisa mengungkapkan rasa dan manusia yang punya rasa kemanusiaan. Tapi… aku… aku harus sabar, setengah jam lagi. Setengah jam saja… Ahh, tidak. Aku tidak bisa. Kali ini aku ingin menjadi lepas. Tiga tahun lamanya aku selalu dibeginikan olehnya. Dianggap enteng, dan dianggap tidak penting. Setiap sms yang kukirim kepadanya di sore hari, selalu dibalasnya pula di hari selanjutnya. Setiap berjanji bertemu, setiap kali itu pula selalu gagal karena bermacam alasan. Apa ini? sudah jelas bukan kalau dia tidak serius denganku? Sudah jelas bukan kalau aku ini tidak berharga dan tidak penting baginya? Tapi, untuk apa dia tetap mempertahankan ini selama tiga tahun? Untuk apa???
                Kini bukan hanya tenggorokkanku yang sakit. Tapi juga kepalaku terasa begitu pusing. Tak berlebihan rasanya jika banyak orang yang bilang saat sakit hati itu dada rasanya begitu sakit teriris-iris. Ya, seperti itulah yang kurasakan. Kini aku sudah yakin bahwa itu bukanlah teori sugestifnya orang-orang super melankolis yang lebih mudah menggalau. Itu teori umum yang sudah banyak orang merasakannya. Teori alam yang pasti akan menimpa orang-orang yang tidak peka sekalipun. Baiklah, kali ini aku akan pergi dan aku akan mengambil sikap atas perlakuannya selama ini. Tidak akan pernah bisa lo berdampingan sama orang yang enggak lo anggap penting! Makiku dalam hati kepada sosok Aldi yang sungguh menyebalkan itu.
                Aku mengemasi barang-barangku yang berserakan di meja café. Handphone, novel, buku catatan mini, semua telah rapih terhangatkan didalam tasku. Aku beranjak berdiri dan siap melangkah pergi meninggalkan masa depanku yang akan menjadi masa lalu, hingga tiba-tiba ku rasakan tubuhku menabrak sebuah badan tegap tinggi saat ku berbalik untuk pergi. Cowok manis itu mengenakan baju biru dongker yang dibalut dengan jaket denimn yang warnanya senada dengan celananya. Kacamata berbingkai hitamnya menyorot lembut mataku. Tapi kekesalanku sama sekali tidak terluluhkan oleh tatapan lembut maupun kedatangannya. Semua itu sudah terlambat, gemingku.
“Mau kemana?” katanya membuka percakapan. Aku sedikit mengernyitkan alisku, tetap dengan tatapan nanar yang seolah tak percaya dengan apa yang dia katakan barusan. “Mau kemana?” Itukah kalimat pertama yang keluar setelah selama tiga jam aku menunggunya??? Apa dia tidak…
“Oke sorry, gue lupa. Gue tadi keasyikan nonton bola sama anak-anak.” Sambungnya dengan masih menatapku. Kali ini tersirat sedikit penyesalan dalam matanya.
“Lo butuh orang yang lo anggap penting buat jadi pendamping lo Di. Lo nggak akan bisa hidup sama orang yang sama sekali enggak lo anggap penting kayak gue.” Dia hanya terdiam. Ingin rasanya aku memakinya dengan kencang, tapi sayang aku tidak ingin orang-orang di café menilaiku sebagai orang gila yang mengamuk pada pacarnya. Sedikitpun aku tidak ingin orang-orang disini melihatku dan Aldi sedang bertengkar. Meskipun aku tidak bisa bermimik biasa saja, tapi paling tidak aku tidak menangis disini. Padahal sangat ingin sekali aku melakukannya. Hanya tatapan hampa tanpa cinta yang bisa aku hidangkan malam ini.
“Lo penting Ri, penting. Tadi gue cuman lupa.” Dalihnya. Aku terkekeh kesal dengan alasannya itu. Apa selama ini, selama tiga tahun ini dia menganggapku penting? Oke, coba jelaskan dari mana aku bisa disebut penting saat sms-sms ku tidak langsung dibalas olehnya? Apa setiap kali itu juga dia sibuk? Lalu, obrolan-obrolan penting yang pernah aku tanyakan apa selalu ditanggapinya dengan cepat? Apa itu yang namanya penting?
“Sorry, gua nggak bisa lebih lama lagi. Gua juga manusia yang sesekali ingin diistimewakan. Lo sebaiknya cari orang yang lebih sabar lagi, dan juga lo anggap penting.” Kataku sambil melepaskan cincin di jari manis kiriku yang pernah dia berikan beberapa tahun yang lalu. Aku meletakkan cincin itu di atas meja, kemudian aku segera menerobos tubuh tinggi itu untuk mencapai pintu keluar. Dia menarik tanganku dari belakang, aku melepaskannya dan tak ingin sedikitpun menengok ke arahnya. Ini seperti drama saja. Dia mengejarku tapi aku sudah lebih dulu masuk ke dalam taksi. Aku tersenyum kecut menanggapi adegan ini. benar-benar mirip seperti di film-film atau di novel yang pernah kubaca.  Meski tenggorokkanku terasa pahit dan sakit, tapi aku tidak ingin mendramatisir malam gelap ini dengan tangisan. Cukup hatiku saja yang meringis kesal. Aku tidak ingin pak supir yang memimpin pacu taksi ini tahu akan penderitaanku yang memalukan ini.
                Aku tiba di muka rumahku. Mengetuk pintu, dan tak lama kemudian cewek muda berpiyama muncul dibalik pintu yang terbuka. Dia tersenyum ke arahku. Ku balas dengan senyum terbaik yang bisa ku pamerkan hari ini. Tapi sial lah aku, tetap saja adikku itu mengetahui bahwa mala mini aku mendapatkan masalah. Dia mengusap punggungku. Biasanya dia melakukan itu saat aku benar-benar merasa sangat sedih dan kemudian aku akan berbagi kesedihanku itu kepadanya. Aku mengedarkan pandanganku kesekitar. Tak kujumpai ayah ataupun ibu di sudut ruang tamu ini. aku segera merangkaki anak-anak tangga dengan segala kepayahanku malam ini. Well, hatiku memang berusaha tetap tenang dan kuat tapi layaknya siku kaki ku tidak dapat berbohong. Rasanya begitu lemas.
                Aku melempar lembut tas ku itu ke segala arah. Kemudian aku meringkuk menghadap tembok, melampiaskan segala kepedihan sekaligus kelegaanku ini. Aku tidak harus menahannya lagi. Aku terisak dibalik ringkukan, bermandikan cahaya dari lentera mungil yang tergantung di atap kamarku. Detak jam semakin terdengar membumbung kencang. Aku tahu, dia mentertawakanku mala mini. Mentertawakan kesialanku selama ini. Hahaha, aku juga ingin tertawa pedih dalam isakan kerdilku.


Tanggal Buat: Jum'at 28 Februari 2014
Salam: D-103

Minggu, 02 Maret 2014

Terjemahan Lagu Usher-His Mistakes

Hey guys, balik lagi nih sama ane... setelah beberapa tahun vakum dari dunia tarik menarik( abuse, hiraukan gan/mba gan -_-) balik lagi nih sama ane dalam Label Lyric. Dimare ane mau share terjemahan lagunya Usher yang berjaduuuul (sorry khilaf, berjudul kamsudnye ) His Mistakes. Sedikit review tentang lagu ini ya gan, menurut gue ini lagu keren banget. Apalagi yang lagi galau karena dibanding-bandingin dengan mantannya orang yang kita sukai. Ini lagu nyeritain tentang cowok yang yang suka sama seorang cewek. Tapi si ceweknya ini punya luka masa lalu sama mantannya daaannn sialnya si cowok ini dianggap sama dengan mantannya si cewek. Kalo bisa dibilang sih gan, si ceweknya ini kaga bisa mup on dari rasa sakit hati yang di sebabkan oleh si mantan sehingga semua cowok dianggap die sama, alias brengsek semua. (Agan cowok? marah dikatain brengsek semua? ini bukan ane gan yang bikin lagunyeee T_T ampuunnn) Si cowoknya ini sukaaaaa banget sama si mba cewek, tapi apa mau dikata, namanya juga hiyumen alias manusia, dia ngga mau disama2in sama mantan si mba cewek yang brengsek onoh. Ngarti kaga sama review dari ane? kagak? yaudeh sonoh langsung aje pantengin terjemahannye :v



Usher-His Mistakes

Do I remind you of the pain
Apa aku mengingatkanmu akan suatu luka?
That he put you through, girl
yang dia berikan kepadamu
Is that the reason I'm to blame
Apa ini alasan aku disalahkan?
Before I do it…
sebelum aku melakukan apa-apa?
Is it because he, treated you badly
Apa ini karena dia, memperlakukanmu buruk
I always stand accused
aku selalu berdiri sebagai yang tertuduh

Protecting yourself, from somebody else
Aku yang melindungimu dari orang lain
I'm not who's hurting you girl
aku bukanlah orang yang menyakitimu, girl

And it's killing me girl knowing you compare me to him
dan ini membunuhku girl, mengetahui kamu membandingkanku dengannya
Always guilty before the sin
selalu berdosa sebelum melakukan kesalahan
I can't win, I can't win no
aku tidak bisa menang, tidak bisa...
I'll do anything to prove I love you
Aku akan melakukan segalanya untuk membuktikan kalau aku mencintaimu (eaaaaa)
Baby girl but I refuse to
Sayang, tapi aku tidak mau
Pay for something I didn't do
membayar sesuatu yang tidak aku lakukan
I love you, girl
aku mencintaimu, girl
But I refuse to stay
tapi aku menolak untuk bertahan
Paying for his mistakes
membayar semua kesalahannya

He left a scar across your heart
dia meninggalkan luka dihatimu
I understand, girl
aku mengerti, girl
Don't let his wrongs tear us apart
jangan biarkan kesalahannya, memisahkan kita
Cause girl I'm your man
carena akulah lelaki mu, girl

Just because he did
hanya karena dia yang melakukan
You swear I'm cheating
kau bersumpah bahwa aku menipumu juga
You think I just don't care
kau pikir aku tidak peduli
Why must I do time
kenapa harus aku yang menanggung
For another man's crime
kejahatan pria lain
Girl you know that aint fair
kau tahu kalau ini tidak adil

I'll do anything to prove I love you
Aku akan melakukan segalanya untuk membuktikan kalau aku mencintaimu (eaaaaa)
Baby girl but I refuse to
Sayang, tapi aku tidak mau
Pay for something I didn't do
membayar sesuatu yang tidak aku lakukan
I love you, girl
aku mencintaimu, girl
But I refuse to stay
tapi aku menolak untuk bertahan
Paying for his mistakes
membayar semua kesalahannya

I know he did you wrong
aku tahu dia berbuat salah kepadamu
But tell me what does that have to do with me
tapi katakan, apa yang harus aku lakukan?
Trying to show you something real
untuk memperlihatkan mu sesuatu yang nyata
Figure out what is going on
melihat apa yang terjadi
Before you look up and I'll be gone....
sebelum kau menyadarinya dan akupun sudah pergi

I'll do anything to prove I love you
aku akan melakukan apapun untuk membuktikan bahwa aku mencintaimu
Baby girl but I refuse
tapi aku menolak
To pay for something I didn't do, girl
membayar sesuatu yang tidak aku lakukan
I love you, and I love you I love you
aku mencintaimu, aku mencintaimu, aku mencintaimu (eaaa lhoooo)

I'll do anything to prove I love you
aku akan melakukan apapun untuk membuktikan bahwa aku mencintaimu
Baby girl but I refuse
tapi aku menolak
To pay for something I didn't do, no
membayar sesuatu yang tidak aku lakukan, tidak
I love you, girl
aku mencintaimu, girl
But I refuse to stay
tapi aku tidak mau bertahan
Paying for his mistakes
untuk membayar kesalahannya

Salam: D-103
Terima kasih atas kunjungannya...